Jumat, 06 Juni 2014
OUTLOOK EKONOMI GLOBAL 2008, Perlawanan Naga pada Tahun Tikus
JAKARTA, Investor Daily
Setidaknya ada tiga pertanyaan yang menghantui ekonomi global pada 2008.
Pertama, apakah krisis finansial yang dipicu kasus subprime mortgage di AS
dampaknya masih berlanjut pada 2008? Kedua, aknkah kenaikan … harga minyak
mentah yang mengancam inflasi semakin “menggila”? Ketiga, mungkinkah pergerakan
harga komoditas saat ini merupakan mekanisme pasar dalam mencari keseimbangan
baru?
Jika jawaban dari ketiga
pertanyaan itu adalah benar, resesi ekonomi akan menjadi ancaman besar.
Sebaliknya, jika salah satu saja jawabannya tidak, ekonomi dunia kemungkinan
masih bersinar. Merrill Lynch dan Morgan Stanley di New York mengkhawatirkan
ekonomi dunia tahun ini akan tergelincir dalam resesi, sebab tingkat
pengangguran naik 5% pada Desember 2007, tertinggi dalam dua tahun terakhir.
Apalagi, menapaki tahun 2008, ekonomi langsung diadang kenaikan harga minyak
hingga menembus batas pskologis US$ 100 per barel. “Saya takut, kita semua akan
merasakan perlambatan ekonomi yang dipicu kenaikan harga minyak,” kata Stuart,
analis Merrill Lynch, seperti dikutip Bloomberg, belum lama ini.
Dana Moneter Internasional (IMF)
juga mengingatkan terkait ketidakpastian ekonomi dan ancaman inflasi global
menyusul kenaikan harga minyak yang diikuti kenaikan harga komoditas lainnya.
IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2008 berkisar 4,8%, menurun dibanding
2007 sebesar 5,2%. Meskipun demikian, banyak juga ekonom yang optimistis bahwa
ekonomi global akan terhindar dari resesi. Masih tingginya tingkat konsumsi di
AS, yang menyumbang 70% dari aktivitas ekonomi, diyakini mampu menahan
kejatuhan ekonomi negeri itu yang sempat terempas akibat krisis subprime
mortgage.
Demikian juga dengan pasar saham,
meskipun di pengujung tahun lalu harganya berguguran, secara keseluruhan Indeks
Dow Jones masih mencatat gain sekitar 6,4% pada 2007. “Penurunan suku bunga The
Fed akan meningkatkan daya beli, sementara pelemahan dolar AS bakal memacu
ekspor sehingga PDB membaik,” kata Saphiro, ekonom AS.
Namun, jika para fund manager
yang bermain ekspektasi memprediksi ekonomi global memburuk, hal itu tidak
mustahil menjadi kenyataan karena aksi mereka bisa mengguncang dunia. Seperti
halnya minyak, para pialang di pasar New York memprediksi harganya bakal
menembus US$ 200 per barel pada akhir tahun 2008 karena stok minyak AS turun,
berkurangnya produksi minyak Meksiko, dan tertundanya eksplorasi ladang di Arab
Saudi. Mereka kemudian ramai-ramai membuat kontrak beli jangka panjang sehingga
permintaan komoditas itu melonjak. International Energy Agency memprediksi
permintaan minyak 2008 naik 2,5%. Ekspektasi demikian tentunya sangat membahayakan
bagi ekonomi dan bisa membawa dunia ke dalam resesi. “Harga minyak US$ 100 per
barel artinya hanya US$ 14,9 sen satu cangkir. Ini sangat murah,” kata Matthew
R Simmons, kepala lembaga investasi Simmons & Co International. “Suplai
minyak sangat ketat, sementara permintaan tinggi. Saya tidak melihat bagaimana
jalan keluar dari krisis energi ini,” ungkapnya seperti dikutip Bloomberg.
Naga Asia
Di tengah kelesuan ekonomi dunia,
Tiongkok menjadi tumpuah harapan sebagai pendorong ekonomi dunia. Negeri yang
disebut sebagai naga Asia itu, bersama India, Rusia dan negara-negara emerging
market diprediksi mampu melawan perlambatan ekonomi global pada tahun tikus
ini. Sejumlah ekonom meyakini, Tiongkok akan mampu melawan tiga musuh utamanya,
yakni terkoreksinya bursa Wall Street dan perlambatan ekonomi AS, pengetatan
moneter karena overheating, dan berkurangnya kapasitas produksi karena ekspor
ke negara mitra dagang menurun.
Tiongkok disebut-sebut sebagai
naga yang cerdik yang mampu menyemburkan api hingga tiga kali untuk mematahkan
perlawanan musuh. Salah satu buktinya, Shanghai Index dan Shenzhen Index mampu
melawan keterpurukan bursa global ketika terjadi krisis subprime mortgage.
Shenzhen mencatatkan rekor teratas pencetak gain selama 2007 dengan kenaikan
sebesar 163,98%. Tak hanya itu, minat perusahaan untuk mendapatkan dana dari
pasar modal bertambah marak, mencapai sekitar US$ 100 miliar. Disamping itu,
produk domestik bruto (PDB) Tiongkok selama lima tahun terakhir ini tumbuh
sangat fantastis, mencapai dua digit. IMF memprediksi, PDB Tiongkok pada 2008
mampu bertahan pada angka dua digit, yakni 10,2%, meskipun menurun dibanding
2007 yang diprediksi sekitar 11,5%.
Namun, ekonom senior Lehman
Brothers Mingchun Sun memprediksi PDB Tiongkok pada 2008 hanya sekitar 9,8%,
kecuali jika Tiongkok mampu membuat terobosan pasar. Sebab, mitra dagang Sang
Naga, seperti AS dan Eropa, tengah dilanda perlambatan ekonomi. Ekspor Tiongkok
ke AS dari tahun ke tahun terus meningkat dari US$ 100 miliar pada 2000 menjadi
US$ 288 miliar per Oktober 2007. Serbuan produk Tiongkok yang dikenal berharga
murah membuat pengusaha AS “pontang-panting” karena pasarnya terus tergerus.
Saat ini, ekspor produk Tiongkok ke AS sekitar 30% dari total ekspor Negeri
Tirai Bambu itu.
Pusat Perhatian
Tiongkok sekarang ini menjadi
negeri yang sangat penting bagi ekonomi dunia. Bahkan, lembaga investasi
internasional sekaliber Morgan Stanley harus “tunduk” setelah mendapat suntikan
dana dari China Investment Corporation (CIC) sebesar US$ 5 miliar guna menutupi
krisis keuangannya akibat terseret kasus subprime mortgage. Sebelumnya, CIC
juga membeli saham Blackstone Group, sebuah perusahaan investasi terbesar di AS
senilai US$ 3 miliar. Blackstone juga dikenal sebagai “mainan” bisnis para
politisi AS. Pembelian ini dibaca pasar sebagai strategi untuk mempengaruhi
ekonomi AS, mengingat negeri Paman Sam itu tak henti-hentinya menekan Tiongkok
agar mau membuka sistem kurs mata uang yuan yang dianggap sebagai biang keladi
mengapa produk Tiongkok dapat menyerbu pasar dengan harga sangat murah. CIC
secara resmi berdiri pada September 2007, tetapi perkembangan investasinya
sangat cepat berkat dukungan dana yang sangat besar.
Tiongkok menggunakan model
Temasek untuk memutarkan cadangan devisanya yang terus membumbung hingga
mencapai USS 1,4 triliun per September 2007. Selain melalui CIC, pemerintah
Tiongkok juga mempunyai Safe Investment Company (SIC) yang mengelola sekitar
US$ 200 miliar dari cadangan devisa negeri itu, Belum lama ini, SIC membeli
saham di tiga bank terbesar di Australia, yakni Australia and New Zeland bank,
Commonwealth Bank of Australia, dan National Australia Bank.
Pengaruh dagang dan kiprah
lembaga investasi Tiongkok tersebut membuat negeri ini sangat diperhitungkan.
Apalagi, dalam kondisi perlambatan ekonomi global, Tiongkoklah yang diharapkan
mampu menjadi mesin pendorong ekonomi.
Ekonomi AS
Sementara itu, AS yang selama ini
menjadi kiblat ekonomi dunia, mendapat ujian sangat berat menyusul krisis
subprime mortgage yang tidak hanya merontokkan pasar finansial di negeri itu,
tetapi juga menyeret pasar global. IMF menurunkan PDB AS pada 2008 dari sekitar
2,8% menjadi sekitar 2,2%. Sementara itu, kawasan Eropa yang korporasinya
banyak menjadi korban subprime mortgages, pertumbuhan ekonominya diperkirakan
turun 0,2% menjadi 2,1% pada 2008.
Begitu pula dengan Jepang,
ekonominya hanya akan bertumbuh sekitar 1,7% pada 2008, lebih rendah dibanding
2007 sebesar 2,0%. Menurut Mickey Levy, kepala ekonom Bank of America, dampak
dari penurunan suku bunga Bank Sentral AS (the Fed) akan menstimulus pasar
keuangan dan meningkatkan daya beli masyarakat sehingga mampu mereduksi ancaman
resesi.
Sejumlah analis juga memprediksi,
kejatuhan pasar perumahan AS akan mencapai dasar pada pertengahan 2008, dan
setelah itu menjadi lebih baik. “Penghapusbukuan (write off) kredit macet
akibat subprime mortgage akan membersihkan keuangan sehingga kinerja korporasi
kembali baik mulai pertengahan tahun ini,” kata Zandi, kepala ekonom Moody’s
Economy.com. Sejumlah ekonom meyakini
The Fed akan kembali menurunkan
suku bunganya secara bertahap hingga semester pertama 2008 menjadi 3,5% dari
posisi saat ini sebesar 4,25%. Namun pada semester kedua suku bunga diprediksi
kembali dinaikkan untuk meredam inflasi seiring tren kenaikan harga minyak dan
komoditas lainnya. Para analis optimistis, makin membaiknya kinerja korporasi
di AS dan mulai cairnya pasar keuangan yang sempat mampet akibat krisis
subprime mortgage, membuat pasar saham di Wall Street kembali bersinar pada
2008.
Sumber: http://madani-ri.com/web/?p=160
Di
tengah kelesuan ekonomi dunia, Tiongkok menjadi tumpuah harapan sebagai
pendorong ekonomi dunia. Negeri yang disebut sebagai naga Asia itu, bersama
India, Rusia dan negara-negara emerging market diprediksi mampu melawan
perlambatan ekonomi global pada tahun tikus ini. Sejumlah ekonom meyakini,
Tiongkok akan mampu melawan tiga musuh utamanya, yakni terkoreksinya bursa Wall
Street dan perlambatan ekonomi AS, pengetatan moneter karena overheating, dan
berkurangnya kapasitas produksi karena ekspor ke negara mitra dagang menurun.
Namun,
ekonom senior Lehman Brothers Mingchun Sun memprediksi PDB Tiongkok pada 2008
hanya sekitar 9,8%, kecuali jika Tiongkok mampu membuat terobosan pasar. Sebab,
mitra dagang Sang Naga, seperti AS dan Eropa, tengah dilanda perlambatan
ekonomi. Ekspor Tiongkok ke AS dari tahun ke tahun terus meningkat dari US$ 100
miliar pada 2000 menjadi US$ 288 miliar per Oktober 2007. Serbuan produk
Tiongkok yang dikenal berharga murah membuat pengusaha AS “pontang-panting”
karena pasarnya terus tergerus. Saat ini, ekspor produk Tiongkok ke AS sekitar
30% dari total ekspor Negeri Tirai Bambu itu.
Sementara
itu, AS yang selama ini menjadi kiblat ekonomi dunia, mendapat ujian sangat
berat menyusul krisis subprime mortgage yang tidak hanya merontokkan pasar
finansial di negeri itu, tetapi juga menyeret pasar global. IMF menurunkan PDB
AS pada 2008 dari sekitar 2,8% menjadi sekitar 2,2%. Sementara itu, kawasan
Eropa yang korporasinya banyak menjadi korban subprime mortgages, pertumbuhan
ekonominya diperkirakan turun 0,2% menjadi 2,1% pada 2008.
Begitu
pula dengan Jepang, ekonominya hanya akan bertumbuh sekitar 1,7% pada 2008,
lebih rendah dibanding 2007 sebesar 2,0%. Menurut Mickey Levy, kepala ekonom
Bank of America, dampak dari penurunan suku bunga Bank Sentral AS (the Fed)
akan menstimulus pasar keuangan dan meningkatkan daya beli masyarakat sehingga
mampu mereduksi ancaman resesi.
Sejumlah
analis juga memprediksi, kejatuhan pasar perumahan AS akan mencapai dasar pada
pertengahan 2008, dan setelah itu menjadi lebih baik. “Penghapusbukuan (write
off) kredit macet akibat subprime mortgage akan membersihkan keuangan sehingga
kinerja korporasi kembali baik mulai pertengahan tahun ini,” kata Zandi, kepala
ekonom Moody’s Economy.com. Sejumlah ekonom meyakini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar